Aku gak berani natap mata bang Uki. Aku ngerasa tatapannya aneh. Malah sekarang nunduk sambil meremas jari. Kaki pun ikut gemetaran, lemas juga.
Lidahku jadi kaku, gak tahu harus ngomong apa. Yang pasti bingung campur malu. Jadi, sampai beberapa waktu, cuma bisa diam membisu.
"Lily pikirkan saja dulu, besok saya tunggu jawabannya. Jangan terlalu lama berpikir sebab waktumu untuk kembali tinggal di sana sebentar lagi."
Besok? Cepat amat ngasih waktu berpikirnya. Ini'kan bukan perkara main-main. Nikah, loh, nikah. Sama orang yang baru kenal sebulan. Mana preman lagi.
Duh, gimana, ya?
Setelah mengatakan hal tersebut, bang Uki pergi. Meski punggungnya tak terlihat lagi, aku tetap mengarahkan pandangan ke jalan raya. Bukan melihat laju kendaraan, tapi tatapan jauh menembus batas badan jalan.
"Lily, bener 'kan bang Uki naksir kamu! Terima aja lamarannya. Kasih syarat dia harus mau berubah, gitu!" ucap mba Kartina yang sekarang sudah berdiri di dekatku. Tentu saja ia mendengar percakapan tadi sebab lapaknya tepat ada di sebelah warung es ini.
Wanita super kepo ini tentu takkan mau ketinggalan berita terkini. Telinganya dipasang tinggi-tinggi biar dapat menangkap informasi, terutama berita tentang bang Uki.
"Heh, heh, mosok maen terima. Ini soal nikah, harus dipikir matang-matang!" sanggah mas Yono yang juga menghampiri. Lelaki itu kemudian memberi nasehat agar aku memikirkan matang-matang lamaran bang Uki. Jangan ceroboh memutuskan sebab ini hal tak main-main.
Lalu, para pedagang lain ikut kepo dengan obrolan mba Kartina dan mas Yono selanjutnya . Mereka pun saling memberi pendapat.
Aku? Hanya mendengarkan obrolan sambil duduk dikelilingi para pedagang
*
Malam ini mataku gak bisa diajak kompromi. Padahal badan udah cape, tapi gak bisa tidur juga. Udah dipejamkan, tetap aja dibuka lagi.
Lamaran bang Uki lah alasan mengapa kondisiku jadi begini. Gelisah gak berhenti-berhenti. Badan dimiring ke kanan dan kiri biar dapat posisi nyaman, ternyata gak dapat-dapat.
Yang membuatku ragu bukan kondisi ekonomi bang Uki. Selama ini tahunya dia gak punya usaha mandiri dan bukan pegawai juga. Tepatnya pengangguran. Atau fisik yang mungkin ditakuti perempuan. Rambut panjang, kumis dan jenggot lebat. Belum lagi sorot matanya tajam dipadu badan tinggi besar. Sekali liat bisa bergidik badan.
Jauh banget sama koh Andre yang mapan, good looking pula. Sayangnya dia tak suka padaku. Malah menganggapku barang jelek yang tak pantas dilirik.
Satu-satunya yang kutakutkan adalah perilakunya yang menyimpang dari aturan agama. Suka mabuk, judi, malak dan menghajar orang. Meski belum melihat langsung, tapi teman-teman pedagang sering menceritakannya. Bahkan, katanya pernah masuk penjara.
Suami 'kan pemimpin dan penanggung jawab. Sementara istri harus taat pada suami. Aku tidak bisa membayangkan hidup dengan pemimpin yang bisa saja zolim pada istrinya. Sama saja keluar dari kandang macan masuk sarang buaya.
Tapi, baru bang Uki lelaki yang sudi melamar tanpa menimbang segala kekuranganku. Kalau menolak, apakah ada yang mau lagi pada gadis tak sempurna ini?
Ah, bisa jadi dia melamar karena ingin mempermainkanku. Atau menikahi hanya dijadikan pelampiasan kebutuhan biologis saja. Bukan istri yang disayangi dan dicintai sepanjang hidup.
Hei, mengapa aku seburuk itu menilai orang. Apa karena semua yang kudengar tentang bang Uki hanya keburukannya? Tak mungkin 'kan manusia kosong dari kelebihan.
Dengan tidak memandang kekuranganku saja bukankah itu kelebihannya? Ia melihat wanita dari sisi berbeda. Mahluk yang harus dilindungi.
Apalagi bang Uki bilang pernikahan kami akan membuatku tak harus kembali ke rumah menakutkan itu. Apakah artinya dia ingin melindungiku?
Ah, jadi bingung lagi.
*.
"Mengapa abang mau menikah dengan saya. Abang bisa lihat sendiri fisik saya tak baik. Oleh keluarga saja saya tidak disukai. Intinya saya bukan manusia berharga."
Bang Uki malah natap aku dalam-dalam
Judul
GADIS TERHINA JADI NYONYA
Penulis
Hanin Humayrohumayro
Sudah tamat di aplikasi KBM App